halaman

Selasa, 2 Ogos 2016

muhammad ali sang legenda

Sang Legenda, Muhammad Ali

Muhammad Ali yang nama lahirnya adalah Cassius Marcellus Clay, Jr, lahir 17 Januari 1942 di Louisville, Kentucky, Amerika Serikat. Ia lahir dari keluarga kulit hitam yang miskin. Di saat isu rasial begitu menyeruak.

Saat ia sedang bermain di tempat olahraga di Kentucky, seseorang mencuri sepedanya. Ia benar-benar jengkel dengan pencuri itu dan mengancam akan menghajarnya hingga remuk. “Akan kuhajar hingga hancur dan kupukuli hingga terluka parah, kalau ia ditemukan,” kata anak kurus tinggi itu di hadapan polisi. Polisi tidak menanggapi serius amarah si anak. Mereka malah mengatakan, kalau mau menghajar orang sampai babak belur, ya belajar tinju dulu. Kejadian inilah yang mengubah kehidupannya. Ali mulai latihan tinju pada tahun 1954, saat itu ia baru berusia 12 tahun.

Menjadi Petinju Profesional

Muhammad Ali memulai debut profesionalnya di dunia tinju pada tahun 1960. Setelah memenangkan mendali emas di Olimpiade Roma. Saat itu ia tengah menginjak usia 18 tahun. Pada tahun 1964, dunia dikejutkan dengan kemenangan Ali atas Sonny Litson. Ali, pemuda 22 tahun yang tidak dikenal dan sama sekali tak diunggulkan, bahkan diprediksi akan mati di atas ring karena mulut besarnya yang mengejek Litson, berhasil mengalahkan petinju yang menakutkan.

Kemenangan Ali atas Sonny Litson menjadikannya seorang bintang. Dan karirnya terus melesat. Ia menjadi idola dan pahlawan bagi pemuda kulit hitam Amerika.

Di puncak karirnya tahun 1966, Ali menolak bergabung di pasukan Amerika dalam Perang Vietnam. Konsekuensinya izin bertandingnya di cabut di semua negara bagia Amerika dan paspornya dicabut. Selama 4 tahun (1967-1970), dari umur 25 tahun hingga 29 tahun, Muhammad Ali tidak melakukan satu pun pertandingan tinju professional.

Pada tahun 1970, Ali kembali mendapatkan izin bertanding. Pertandingan perdananya setelah ‘pengasingan’ adalah menghadapi Oscar Bonavena. Ali berhasil meng-KO Oscar dalam pertandingan itu. Kemenangan ini membawanya pada pintu kejayaan kembali dengan menantang juara dunia Joe Frazier. Pertandingan dua juara dunia yang kala itu digadang sebagai Fight of the Century. Dalam pertandingan ini Ali dipaksa menerima kekalahan professional pertamanya. Pada pertemuan berikutnya Ali berhasil mengalahkan Frazier.

Pada tahun 1974, Muhammad Ali kembali menyabet gelar juara dunia setelah berhasil mengalahkan George Foreman.

Karir tinju profesionalnya mencatatkan rekor 57 kali menang, 37 di antaranya menang dengan KO.

Memeluk Islam

Muhammad Ali mengumumkan keislamannya pada tahun 1975. Lalu ia mengganti nama baptisnya Cassius Marcellus Clay, Jr. menjadi Muhammad Ali Clay. Ketika ditanya apa yang membuatnya mengganti keyakinan menjadi seorang muslim. Ali menjawab dengan jawaban yang luar biasa, “Aku belum pernah melihat begitu banyak cinta. Saling pelukan dan cium antar mereka. Shalat 5 waktu dalam sehari. Wanita memakai pakaian yang panjang. Cara mereka makan. Engkau bisa pergi ke negara manapun dengan menyapa ‘assalamu’alaikum – wa’alikumussalam. Kau punya rumah. kau punya saudara. Aku memilih Islam karena itu bisa menghubungkanku (persaudaraan kepada siapa saja). Sebagai seorang Kristen di Amerika, aku tidak bisa pergi ke gereja orang kulit putih…”

Ia melanjutkan, “(Dalam Islam) Aku merasakan kebaikan. Aku merasakan kebebesan. Islam membuatku terhubung dengan Saudi Arabia. Persaudaraan Islam menghubungkanku dengan Pakistan, Maroko, Syiria. Aku bisa tinggal di istana-istana (pemimpin muslim dunia) karena aku seorang muslim. Menjadi penganut Kristen aku tidak pernah duduk (setara) dengan pemimpin-pemimpin. Sebagai seorang muslim, aku duduk bersama (Anwar) Sadad, (Gamal Abdul) Naser, Marcos Presiden Filipina. Raja-raja (Arab), Sultan Abu Dhabi, dan masyarakat menyambutku layaknya seorang saudara… Oleh karena itu, aku memilih agama Islam.”

Pelajaran bagi kita kaum muslimin, jangan lupakan ucapan salam sesama umat Islam. Karena salam menunjukkan rasa cinta dan kasih sayang. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ,

لَا تَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا ، وَلَا تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا ، أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ ؟ أَفْشُوْا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

“Tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan maka kalian akan saling mencintai ? Sebarkanlah salam di antara kalian.”

Sabda Nabi ﷺ dirasakan sendiri oleh Muhammad Ali ketika ia masih beragama Kristen. Ia melihat begitu banyak cinta dan persaudaraan pada umat Islam dengan ucapan salam.

Peranan Sebagai Seorang Muslim

Pada tahun 2005 ia mendirikan Muhammad Ali Center di kampung halamannya Louisville. Tempat ini berfungsi sebaga pusat dakwah. Mungkin untuk memancing daya tarik orang-orang berkunjung kemudian mempelajari Islam, Muhammad Ali menaruh sebagian benda-benda koleksinya di sini. Tempat ini juga beroperasi sebagai organisasi non-profit untuk menyebarkan ide-ide perdamaian, kesejahteraan sosial, membantu orang yang membutuhkan, dan nilai-nilai luhur yang  Muhammad Ali yakini.

Upacara pembukaan tempat ini dihadiri oleh sejumlah besar penggemar Muhammad Ali yang datang dari berbagai belahan dunia, termasuk mantan Presiden AS Bill Clinton.

Muhammad Ali mengatakan, “Saya ingin tempat ini mendorong seseorang untuk memberikan yang terbaik dalam bidang pilihan mereka.”

Sejak aktif di dunia sosial, Muhammad Ali telah mengunjungi banyak negara untuk membantu program kesehatan anak dan orang-orang miskin. Di antara negara yang telah ia kunjungi adalah Maroko, Pantai Gading, Indonesia, Meksiko, dll.

Ia juga memperhatikan masyarakat bawah di Amerika Seirka, terutama kalangan Afrika Amerika yang sering mengalami diskriminasi.

Ucapan-Ucapan Ali

“Mengapa mereka harus memintaku untuk mengenakan seragam dan pergi sepuluh ribu mil dari rumah untuk menjatuhkan bom dan peluru pada orang-orang coklat di Vietnam sementara yang disebut orang negro di Louisville diperlakukan seperti anjing dan menolak hak asasi manusia sederhana?” Ali, Februari, 17, 1966.

“Orang-orang mengatakan aku berbicara begitu lambat sekarang. Tidak mengherankan. Aku menghitung sudah melakukan 29.000 pukulan. Tapi aku mendapatkan $ 57.000.000 dan disimpan setengah dari itu. Jadi aku melakukan beberapa pukulan keras. Apakah Anda tahu berapa banyak laki-laki hitam dibunuh setiap tahun oleh senjata dan pisau tanpa sepeser pun untuk nama-nama mereka? aku mungkin bicara lambat, tapi pikiranku baik-baik saja.” – Ali, 20 Januari, tahun 1984.

Ketika terjadi penyerangan di Paris yang diklaim dilakukan kelompok ISIS, Muhammad Ali angkat bicara,

“Aku seorang Muslim. Tidak ada ajaran Islam tentang membunuh orang yang tidak bersalah di Paris, San Bernardino, atau di mana pun di dunia ini. Muslim sejati tahu bahwa kekerasan dan kekejaman yang disebut Jihadis Islam sangat bertentangan dengan ajaran agama kita.” – Ali, 2015.

Aku tidak merokok, tapi aku selalu membawa korek api di kantong celana. Setiap kali hatiku tergerak untuk berbuat dosa, maka kubakar satu batang korek api. Kurasakan panasnya di telapa tangan. Kukatakan dalam hati, “Ali, menahan panasnya korek api ini saja kau tak sanggup. Bagaiamana dengan dahsyatnya panas api neraka?”

Wafat

Muhammad Ali meninggal pada hari Sabtu, 4 Juni 2016, di usia 74 tahun. Mantan juara dunia kelas berat ini meninggal di sebuah RS di Kota Phoenix negara bagian Arizona, setelah dirawat sejak Kamis.

Ali menderita gangguan pernapasan, karena komplikasi yang disebabkan oleh penyakit Parkinson yang dideritanya.

Pihak keluarga menyatakan, pemakaman akan dilakukan di kampung halaman Ali di Louisville, Kentucky.



Wafatnya Fatimah Putri Rasulullah


Pada tanggal 3 Ramadhan 11 H, wafat seorang penghulu wanita surga, putri Rasulullah ﷺ, Fatimah radhiallahu ‘anha. Kematian Fatimah, hanya berselang enam bulan dari wafatnya sang ayah, Rasulullah ﷺ. Jenazahnya dimakamkan di Baqi’.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Enam bulan setelah beliau wafat, putri beliau Fatimah radhiallahu ‘anha wafat. Menysul ibunya (Khadijah) dan ayahnya (Rasulullah). Rasulullah ﷺ mengabarkan pada Fatimah, ia adalah orang pertama dari keluarganya yang akan menyusulnya. Beliau berkata kepada Fatimah, ‘Tidakkah engkau ridha, menjadi penghulu wanita di surga?’ Ia adalah putri bungsu Nabi. Ini adalah pendapat yang masyhur. Tidak ada lagi anak Rasulullah yang masih hidup kecuali dia. Karena itu, Allah besarkan pahala untuknya. Dialah (satu-satunya anak Nabi yang merasakan kehilangan Rasulullah.” (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, 6/365).

Banyak riwayat yang menerangkan tentang betapa cintanya Nabi ﷺ kepada Fatimah. Jika tiba dari safar atau pulang dari suatu peperangan, pertama kali yang dilakukan Nabi ﷺ adalah shalat dua rakaat di masjid kemudian menemui Fatimah. Setelah itu baru menemui istri-istrinya. Nabi ﷺ bersabda,

أَفْضَلُ نِسَاءِ أَهْلِ الْجَنَّةِ: خَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَمَرْيَمُ ابْنَةُ عِمْرَانَ وَآسِيَةُ بِنْتُ مُزَاحِمٍ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ

“Wanita-wanita terbaik di surga yaitu; Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam bintu Imran, dan Asiyah binti Muzahim istri Firaun.” (HR. Ibnu Abdil Bar, al-Isti’ab 2/113).

Nabi ﷺ menikahkan Fatimah dengan anak pamannya, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Pernikahan ini terjadi setelah hijrah. 4 bulan setengah setelah Perang Badar. Dari pernikahan agung ini lahirlah Hasan, Husein, Muhsin, dan Ummu Kultsum. Di masa berikutnya Ummu Kultsum dinikahkan dengan Umar bin al-Khattab.

Diriwayatkan, ketika Rasulullah ﷺ menikahkannya dengan Fatimah. Beliau mengantar Fatimah dengan membawa sebuah kasur, bantal kulit yang diisi serat pohon kurma, dua batu gilingan, bak air dari kulit, dan dua pot dari tanah.

Menjelang wafat, Fatimah radhiallahu ‘anhaberwasiat kepada Asma binti Umais, istri Abu Bakar ash-Shiddiq agar yang memandikan jenazahnya adalah dia, Ali bin Abi Thalib, Salma Ummu Rafi’ radhiallahu ‘anhum.

Sejarawan berbeda pendapat berapa umur Fatimah radhiallahu ‘anha ketika wafat. Ada yang mengatakan 27, 28, atau 29 tahun. Shalat jenazahnya sendiri di-imami oleh Ali bin Abi Thalib. Ada juga yang mengatakan al-Abbas atau Abu Bakar 


khadijah saat rasullah menerima wahyu pertama

Peranan Khadijah Saat Rasulullah Menerima Wahyu Pertama

Setelah menerima wahyu pertama di Gua Hira, Rasulullah ﷺ kembali ke rumah menemui istrinya, Khadijah, dalam keadaan ketakutan. Beliau duduk di sisi istrinya lalu semakin merapat padanya. Sebagaimana disebutkan dalam satu riwayat:

فَجَلَسْتُ إلَى فَخِذِهَا مُضِيفًا إلَيْهَا

“Aku duduk di sisinya kemudian bersandar padanya.”

Beliau ceritakan semua yang ia lihat dan alami. Melihat Jibril dan diseru menjadi seorang utusan Allah (rasulullah). Dari peristiwa ini setidaknya dapat kita petik dua pelajaran tentang menjalani kehidupan berumah tangga. Peranan istri dan juga keterbukaan suami. Dua hal yang menjadi penyebab langgengnya rumah tangga.

Pertama: Khadijah memerankan peranan utamanya sebagai istri. Ia menjadi tempat berbagi untuk suami. Ia mampu membuat suami yang sedang dirundung gundah menjadi tenang. Khususnya ketika menghadapi masalah besar. Allah ﷻ telah menyebutkan sifat demikian dalam firman-Nya,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram (sakinah) kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS:Ar-Ruum | Ayat: 21).

Peranan utama antara pasangan suami istri adalah membuat tenang pasangannya. Allah ﷻ mengulangi sifat ini dalam ayat yang lain:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا

“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang (sakinah) kepadanya.” (QS:Al-A’raf | Ayat: 189)

Jadi, peranan utama istri adalah membuat suami menjadi sakinah, tenang. Suami butuh ketenangan setelah hiruk pikuk yang terjadi di luar rumah dan di dunia kerja. Setelah merasakan tekanan di kantor. Atau menghadapi rumitnya lika-liku dakwah. Ia bekerja dan berjihad di jalan Allah.

Sirah Nabi ﷺ mengajarkan kita banyak hal. Meskipun konteksnya menerima wahyu, namun buah pelajarannya bisa kita terapkan dalam keseharian. Nabi ﷺ tidak terpikir untuk pergi menuju sahabat dekatnya, Abu Bakar. Beliau juga tidak terpikir menuju salah seorang tokoh yang bijak di Mekah. Atau pergi ke pamannya, Abu Thalib, yang telah membesarkannya. Di pikirannya hanya satu, Ummul Mukminin Khadijah radhiallahu ‘anha seorang yang dapat menenangkan rasa takutnya. Sang istri yang menenagkan dan takkan membuatnya kecewa. Inilah kunci sukses kehidupan berkeluarga. Istri mampu menjadi tempat kembali yang tenang bagi sang suami.

Kedua: Rasulullah ﷺ seperti halnya seorang suami pada umumnya. Ia mengadukan rasa gundah dan permasalahannya kepada istri bahkan menceritakannya dengan detil. Bermusyawarah dan menerima saran darinya. Beliau ﷺ tidak melupakan peranan sang istri. Beliau ﷺ jadikan istri sebagai penguat dan memberinya kepercayaan.

Kedua hal ini, jika diterapkan secara baik tentu akan menjadikan rumah tangga sebagai tempat yang bahagia.

Tanggapan Yang Luar Biasa

Ketika Rasulullah ﷺ menceritakan semua yang ia lihat kepada istrinya, termasuk bahwa ia diangkat menjadi seorang utusan Allah, Khadijah radhiallahu ‘anha  memberikan tanggapan yang luar biasa. Dengan yakin ia menanggapi:

أَبْشِرْ يَا ابْنَ عَمِّ وَاثْبُتْ فَوَالَّذِي نَفْسُ خَدِيجَةَ بِيَدِهِ! إنِّي لأَرْجُو أَنْ تَكُونَ نَبِيَّ هَذِهِ الأُمَّةِ

“Berbahagialah wahai putra pamanku dan teguhlah engkau. Demi Dzat yang jiwa Khadijah berada di tangan-Nya! Sungguh aku berharap engkau menjadi nabinya umat ini.” (Ibnu Hisyam dalam as-Sirah an-Nabawiyah, 1/236).

Perkataan indah yang terucap di saat sang suami merasa takut dan sedih. Perkataan yang mampu mengokohkannya di tengah bimbang dan ragu. Ucapan ini mengindikasikan Khadijah tahu akan ada seorang rasul yang diutus. Dan orang yang ia harapkan untuk menjadi rasul itu adalah suaminya sendiri. Dengan demikian, keimanan Khadijah bukan semata keimanan fanatik keluarga, tapi sesuatu yang dibangun dengan ilmu.

Pengetahuan Khadijah tentang kerasulan ini terbukti dengan tidak muncul pertanyaan darinya “Siapa itu Jibril?”, “Apa itu utusan Allah (Rasulullah)?” dll. Ada beberapa riwayat dalam sejarah yang menyatakan bahwa Khadijah telah mengetahui kalau Muhammad bin Abdullah akan diangkat menjadi seorang Rasul. Ia dengar kabar tersebut dari orang-orang Yahudi. Seperti kisah yang dibawakan Ibnu Saad dalam al-Mubtada dan juga diriwayatkan oleh selainnya:

Wanita-wanita Quraisy memiliki hari raya. Mereka biasa berkumpul di masjid untuk merayakannya. Ketika mereka sedang berkumpul datang seorang laki-laki Yahudi dan berkata, “Wahai wanita-wanita Quraisy, hampir saja ada di tengah kalian seorang nabi. Siapa saja di antara kalian yang bisa jadi istrinya, maka lakukanlah”. Wanita-wanita itu tidak mempedulikannya bahkan mengejeknya. Sementara Khadijah hanya terdiam, ia tidak berekspresi seperti wanita Quraisy yang lain. Malah di dalam hati, ia meyakininya. Ketika Maysarah mengabarkan tanda-tanda yang dia lihat (saat bersafar dengan Muhammad), Khadijah mengatakan, “Jika yang dikatakan si Yahudi itu benar, maka inilah tandanya”.

Walaupun riwayat ini masyhur, tapi periwayatannya lemah, sehingga tidak bisa kita jadikan rujukan.

Pengetahuan masyarakat Arab jahiliyah tentang datangnya seorang rasul bisa kita ketahui dari riwayat Imam Ahmad, Rasulullah ﷺ pernah mengatakan kepada Khadijah:

إِنِّي أَرَى ضَوْءًا، وَأَسْمَعُ صَوْتًا، وَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَكُونَ بِي جَنَنٌ”. قَالَتْ: لَمْ يَكُنِ اللهُ لِيَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ يَا ابْنَ عَبْدِ اللهِ. ثُمَّ أَتَتْ ورقة بن نوفل، فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: إِنْ يَكُ صَادِقًا، فَإِنَّ هَذَا نَامُوسٌ مِثْلُ نَامُوسِ مُوسَى، فَإِنْ بُعِثَ وَأَنَا حَيُّ، فَسَأُعَزِّرُهُ، وَأَنْصُرُهُ، وَأُومِنُ بِهِ

“Sungguh aku melihat suatu cahaya. Aku mendengar suara. Aku takut kalau aku gila.” Khadijah menjawab, “Tidak mungkin Allah akan membuatmu demikian wahai putra Abdullah.” Kemudian Khadijah menemui Waraqah bin Naufal. Ia ceritakan keadaan tersebut padanya. “Jika benar, maka itu adalah Namus seperti Namusnya Musa. Sekiranya saat dia diutus dan aku masih hidup, aku akan melindunginya, menolongnya, dan beriman kepadanya,” kata Waraqah. (HR. Ahmad 2846).

Dan sebelumnya, Allah ﷻ telah memberi tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pemuda yang bernama Muhammad bin Abdullah berbeda dengan pemuda-pemuda Mekah lainnya. Mulai dari peristiwa pembelahan dada yang dilihat oleh teman-teman sepermainnya. Batu yang mengucapkan salam untuknya. Ada suara yang memanggilnya dari arah langit, lebih dari satu kali. Ini semua sebagai tanda agar mereka tidak menolak dan tahu. Belum lagi dari sisi kepribadiannya. Kemuliaaan akhlak yang begitu luar biasa.

Khadijah menangkap tanda-tanda ini. Tidak menganggapnya sebagai hal biasa yang tanpa hikmah. Karena ketika peristiwa yang lebih ajaib lagi datang kepadanya, ia dengan mudah dan begitu cepat ia beriman kepada risalah kenabian.

Menemui Waraqah

Ibunda Khadijah radhiallahu ‘anha adalah wanita yang luar biasa. Ia tidak hanya diam dan menebak-nebak apa yang terjadi. Ia mengambil peranan, mencari solusi di tengah kebingungan sang suami. Ia pergi menuju seorang alim dan baik Waraqah bin Naufal.

Khadijah radhiallahu ‘anha mengabarkan cerita suaminya kepada Waraqah bin Naufal. Waraqah menanggapi, “Quddus.. Quddus.. Demi Dzat yang jiwa Waraqah berada di tangannya, jika engkau jujur padaku wahai Khadijah, sungguh an-Namus al-Akbar telah datang menemuinya, yang dulu pernah mendatangi Musa. Sungguh dia adalah seorang nabi umat ini. Sampaikan padanya agar berteguh diri.” (Ibnu Hisyam dalam as-Sirah an-Nabawiyah, 1/236 dll.).

Waraqah menjawab dengan keterangan yang jelas dan penuh keyakinan. Ia begitu mantab menyebutkan bahwa Muhammad ﷺ adalah seorang rasul umat ini.

Setelah Menemui Waraqah

Setelah bertemu Waraqah bin Naufal, Ummul Mukminin Khadijah radhiallahu ‘anhakembali menemui suaminya ﷺ. Ia menceritakan kepada suaminya apa yang dikatakan Waraqah tentang kejadian itu. Usai mendengarnya, Muhammad ﷺ merasa suatu peristiwa besar yang begitu aneh dipikulkan di pundaknya. Walaupun sebelum peristiwa ini beliau telah merasakan beberapa peristiwa aneh yang mengantarnya hingga tingkatan ini.

Hal-hal aneh yang terjadi pada hidup Muhammad ﷺ. Seperti: dibelah dadanya. Batu-batu mengucapkan salam untuknya. Mimpi yang jadi nyata. Kalimat-kalimat yang ia dengar dalam mimpi yang bukan ucapan manusia. Kemudian ada sesosok di langit tiap kali ia memandangnya. Ini adalah hal yang aneh yang tidak mungkin dialami oleh manusia biasa. Juga dikatakan kepada beliau ﷺ, ‘Engkau adalah Muhammad Rasulullah dan aku adalah Jibril’. Sampai akhirnya ditegaskan oleh Waraqah bin Naufal tanpa keraguan bahwa dia adalah nabi umat ini. Disebutkan dalam Taurat dan Injil.

Inilah hikmah ilahi. Allah memberikan tanda-tanda kepada Muhammad ﷺ dan orang-orang yang berada di sekitarnya bahwa dia adalah Nabi. Allah memberikan tahapan pemahaman hingga ketika datang ketetapan, Muhammad ﷺ tidak begitu terheran-heran. Bayangkan! dengan didahului peristiwa-peristiwa aneh ini saja, Nabi Muhammad ﷺ masih merasa bingung dengan apa yang terjadi padanya. Bagaimana jika tidak ada pendahuluan?!

Setelah itu, beliau ﷺ kembali menuju Gua Hira. Hal ini menunjukkan beliau ﷺ sudah lebih siap membenarkan risalah. Beliau ﷺ tidak lagi merasa takut.

Penutup

Betapa luar biasanya hikmah Allah ﷻ memilihkan Khadijah radhiallahu ‘anha untuk Nabi Muhammad ﷺ. Istri yang hidup bersamanya saat wahyu pertama tiba. Istri yang mampu memberikan ketenangan saat seorang suami yang berjiwa tegar pun merasa kebingungan. Dia tetap tenang dan memberikan ketenangan.

Kemudian, ia yang pertama membenarkan risalah kerasulannya saat orang-orang mendustakannya. Ia tetap bersama suaminya di tengah tekanan kaumnya. Ia menolong dan membelanya. Semoga Allah meridhaimu wahai ibunda kami, Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid…

Sumber:
– islamstory.com



pengkhianat syiah dikarbala

Gerakan Tawwabin, Ketika Syiah Menyesali Pengkhiantan Mereka di Karbala

Ketika Yazid bin Muawiyah wafat pada tahun 64 H, terjadilah kekosongan kepemimpinan. Keadaan pun kacau. Stabilitas negara Islam tengah goyah berhadapan dengan fitnah. Di Hijaz Abdullah bin az-Zubair radhiallahu ‘anhu mengumumkan kekhalifahannya. Dan di Kufah, ada Jaisy at-Tawwabin yang menuntut balas atas syahidnya cucu Rasulullah ﷺ di Karbala.

Gerakan Tawwabin

Kata tawwabin artinya adalah orang-orang yang bertaubat. Mengapa orang-orang yang tergabung dalam gerakan ini menamakan gerakan mereka gerakan tawwabin? Karena mereka menyesal atas pengkhianatan mereka terhadap Husein di Karbala. Mereka menyesal telah mengundangnya ke Kufah, lalu meninggalkannya hingga syahid di sana. Mereka hendak menebus kesalahan tersebut dengan mengobarkan semangat menuntut balas atas kematian cucu Rasulullah ﷺ.

Syaikh Utsman al-Khomis dalam ceramahnya Haqiqatu asy-Syiah menyebutkan bahwa Gerakan at-Tawwabin adalah gerakan yang menghidupkan kembali dakwah Abdullah bin Saba dari beberapa sisi. Ketika Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menghukum orang-orang yang berlebihan terhadapnya, nyaris dakwah Abdullah bin Saba menghilang. Hingga muncullah Gerakan at-Tawwabin yang disengaja atau tidak menghidupkan kembali dakwah pengagungan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Menurut Syaikh Utsman, sejak muncul pemikiran Abdullah bin Saba di akhir kekhalifahan Utsman bin Affan hingga munculnya Gerakan Tawwabin, kelompok ini belum dikenal dengan nama kelompok Syiah. Syiah sebagai sebuah sekte baru dikenal pada abad ke-3 H.

Setelah sepakat menuntut balas atas kematian Husein radhiallahu ‘anhu, orang-orang yang tergabung dalam Gerakan Tawwabin mengadakan rapat perdana. Dipimpin oleh Sulaiman bin Shard al-Khuza’i. Agenda rapat adalah menentukan sikap, teknis operasi perlawanan yang akan dilancarkan, dan pembahasan utama dalam pertemuan ini adalah permasalahan taubat dan ampunan. Setelah itu mereka mulai menjadikan simpatisan sipil ini menjadi sebuah pasukan. Jadilah mereka Jaisy at-Tawwabin. Kemudian 4000 personil Jaisy at-Tawwabin pun mulai bergerak. Operasi tersebut dimulai pada bulan Rabiul Awal tahun 65 H.

Pertama-tama mereka mendatangi makam Husein. Mereka menangis, menyatakan taubat, dan menyesali perbuatan mereka. Setelah berkabung selama 1 hari penuh, mereka membulatkan tekad untuk berangkat ke Syam, memerangi Ubaidullah bin Ziyad sebgai orang yang paling bertanggung jawab atas terbunuhnya Husein. Mereka melintasi Sungai Eufrat. Menyusuri sungai tersebut. Hingga tiba di daerah Circesium, di Suriah (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/638).

Mereka disambut oleh pimpinan wilayah Circesium, Zafar bin al-Harits al-Kilabi, yang mendukung kekhalifahan Abdullah bin az-Zubair. Zafar menyarankan agar mereka mengajak simpatisan Ibnu az-Zubair bersekutu dalam misi mereka. Namun usulan tersebut mereka tolak. Perjalanan pembalasan dendam pun dilanjutkan (Tarikh ad-Daulah al-Umawiyah, Hal 72 dan al-Kamil fi at-Tarikh, 2/639).

Perang Ainul Wardah Tahun 65 H

Bertemulah orang-orang Syiah ini dengan pasukan bani Umayyah di Ainul Wardah. Sebuah daerah yang terletak di Jazirah hingga mencapai bagian barat laut Shiffin. Peperangan berjalan tidak seimbang, pasukan Umayyah dengan mudah melibas Jaisy at-Tawwabin yang jumlahnya tidak mengimbangi mereka. Tokoh-tokoh mereka pun tewas kecuali Rifa’ah bin Syaddad yang berhasil pulang ke Kufah bersama sebagian kecil dari mereka (Tarikh ad-Daulah al-Umawiyah, Hal 72).

Penutup

Dari beberapa keterangan, Jaisy at-Tawwabin ini bukanlah seperti orang-orang Syiah yang kita kenal pada hari ini –al-Ilmu ‘Indallah-. Peristiwa ini terjadi pada abad pertama hijriyah, yakni pada tahun 65 H. Kemudian menurut penjelasan Syaikh Utsman al-Khomis Syiah menjadi sebuah sekte muncul pada abad ke-3 H. Saat itu orang-orang baru mengenal ini Syiah dan ini Sunni. Ini Huseiniyat (tempat ibadah) Syiah dan ini masjid-masjid Sunni. Ini kitab-kitab Syiah dan ini kitab-kita Sunni. Ini ulama-ulama Syiah dan ini ulama-ulama Sunni. Adapun sebelum zaman ini, belum dikenal istilah demikian.

Adz-Dzahabi mengomentari Sulaiman bin Shard pemimpin Jaisy at-Tawwabin dengan mengatakan, “Dia adalah seorang yang shaleh dan ahli ibadah. Ia tergabung dalam pasukan taubat kepada Allah dari pengkhianatan yang mereka lakukan terhadap Husein asy-syahid. Mereka berangkat menuntut hukum terhadap pembunuh Husein. Mereka menamakan diri dengan Jaisy at-Tawwabin.” (Siyar Alamin Nubala, 3/395).

Imam Ibnu Katsir mengomentari Jaisy at-Tawwabin dengan mengatakan, “Sekiranya tekad dan persekutuan ini ada sebelum Husein tiba di Karbala, niscaya hal ini bermanfaat untuk Husein dan mampu menolongnya. Daripada mereka berkumpul dan baru menyatakan pembelaan terhadapnya setelah 4 tahun (peristiwa Karbala).” (al-Bidayah wa an-Nihayah, 11/697).

Apa yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Katsir juga menjadi pertanyaan bagi kita. Dimana keberanian dan keikhlasan mereka menolong Husein, saat peristiwa itu terjadi? Di saat cucu Rasulullah ﷺ berhadapan dengan maut?

Sumber:
– http://islamstory.com/ar/حركة-التوابين-ومعركة-عين-الوردة

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com


utsman bin Affan & Alquran -2

Ustman bin Affan Menyatukan Bacaan Alquran (2/2)

Kebijakan yang dilakukan Utsmani bin Affan radhiallahu ‘anhu dalam menyatukan bacaan Alquran adalah kebijakan cerdas, berani, dan tepat. Sampai sekarang kita merasakan bagaimana Alquran yang beliau susun begitu universal. Menembus sekat-sekat kesukuan, wilayah, dan bahasa. Melapangkan dada kaum muslimin di segala penjuru dunia. Tidak menimbulkan kecemburuan. Persatuan pun terwujud dan hati-hati manusia menjadi lapang.

Apa yang Utsman tetapkan mampu diterima seluruh kaum muslimin. Padahal sebelumnya mereka memiliki bacaan yang berbeda. Inilah jiwa kepemimpinan sejati. Ia mempersatukan umat yang sebelumnya terpecah. Bukan malah mengeluarkan kebijakan yang memanaskan suasana di tengah-tengah ketanangan dan persatuan umat.

Jumlah Mush-haf Utsmani Pertama Kali

Setelah menyelesaikan penulisan ulang Alquran, Utsman memerintahkan agar mush-haf baru tersebut dikirim ke daerah-daerah kekhalifahan. Para ulama berbeda pendapat berapa jumlah mush-haf yang ditulis Utsman. Pendapat yang masyhur menyebutkan bahwa mush-haf Alquran diperbanyak menjadi lima. Dikirim ke Mekah, Madinah, Kufah, Syam, dan satu lagi dipegang oleh beliau sendiri. Itulah yang dikenal dengan mush-haf al-imam.

Abu Amr ad-Dani mengatakan, “Kebanyakan ulama menyatakan bahwa mush-haf tersebut berjumlah empat. Dikirim menuju Kufah, Bashrah, dan Syam. Kemudian satu lagi Utsman sendiri yang memegangnya”.

Ibnu Abi Dawud mengatakan, “Aku mendengar Abu Hatim as-Sajistani berkata, ‘Saat Utsman menulis ulang Alquran pada peristiwa jam’ul Quran, ia memperbanyak mush-haf menjadi tujuh. Dikirim ke Mekah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan satu lagi tetap di Madinah.

Pendapat yang paling kuat menyatakan bahwa Alquran tersebut digandakan menjadi enam. Empat di antaranya dikirim ke Mekah, Syam, Kufah, dan Bashrah. Satu mush-haf tetap di Madinah. Mush-haf itu dinamakan al-Madani al-‘Aam. Dan satu lagi Utsman sendiri yang memegangnya. Mush-haf ini disebut al-Madani al-Khaas atau al-Mush-haf al-Imam (al-Itqan, 1/189).

Pelajaran Dari Peristiwa Ja’ul Quran

  1. Seorang pemimpin hendaknya mengeluarkan kebijakan yang mempersatukan umat di kala mereka berpecah belah. Bukan sebaliknya memanaskan dan memecah umat saat kondisi mereka tenang.
  2. Mush-haf Utsmani menjadi jalan tengah dan pemersatu.
  3. Pemerintah mengawasi dan menyebarkan mush-haf Alquran.
  4. Solusi memusnahkan ayat Alquran yang terdapat dalam Alquran yang sudah lusuh tidak terpakai, atau tulisan-tulisan di buku dan kertas adalah dengan cara dibakar seperti apa yang dilakukan Utsman dan disepakati sahabat yang lain. Sehingga ayat Alquran tidak dihinakan dengan dibuang di tempat sampah. Atau dijadikan bungkus dan alas-alas sesuatu yang tidak sesuai dengan kemuliaannya.

Sumber:
– islamstory.com



utsman bin Affan & Alquran -1

Utsman bin Affan Menyatukan Bacaan Alquran (1/2)

Setelah Umar bin al-Khattab wafat, tiga malam berikutnya Utsman bin Affan dibaiat menggantikannya. Baiat itu terjadi pada tahun 24 H. Laki-laki yang malaikat pun malu padanya ini berhasil memperluas wilayah kekhilafahan Islam. Pemeluk Islam kian bertambah jumlahnya. Generasi baru muncul mengganti ayah-ayah mereka. Waktu terus berjalan, menderap langkah peradaban, dan masa kenabian pun kian menjauh.

Penduduk wilayah kekhalifahan belajar mebaca Alquran dari sahabat Nabi yang tinggal bersama mereka. Orang-orang Syam membacanya dengan qiraat Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu. Penduduk Irak berbeda lagi. Mereka membaca dengan qiraat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Adapun selain mereka, Alquran dibaca dengan qiraat Abi Musa al-Asy’ari, radhiallahu ‘anhum ajma’in(Jam’u Alquran al-Karim Hifzhan wa Kitabatan oleh Ali bin Sulaiman al-Ubaid).

Masing-masing sahabat memiliki bacaan sesuai riwayat yang mereka pegangi dari Rasulullah ﷺ. Karena luasnya daerah, banyaknya umat secara jumlah, perbedaan bacaan pun kian meluas. Mereka yang awam, tidak tahu ada riwayat selain dari yang mereka baca. Ditambah keterbatasan sarana informasi, menyebabkan penyebaran ilmu tidak semasif masa kini. Jangan bayangkan tiap daerah tahu apa yang terjadi di daerah lainnya seperti saat ini, ada internet dan telivisi. Berita hanya tersebar dari musafir dari mulut ke mulut. Akhirnya perselisihan qiraat memunculkan fitnah dan perpecahan.

Sebab Ditetapkannya Kebijakan

Penyebab utama penyeragaman bacaan Alquran di zaman Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu adalah perbedaan bacaan yang menjurus pada saling menyalahkan antara kaum muslimin. Utsman pun mengambil kebijakan menyatukan suara umat. Ia memutuskan adanya satu mushhaf yang sama.

Bermula dari kabar sahabat Hudzaifah bin al-Yaman radhiallahu ‘anhu yang datang dari wilayah Azerbaijan dan Armenia. Ia menemui penduduk Syam dan Irak yang berselisih karena bacaan Alquran. Hudzaifah khawatir timbul fitnah dan masalah dari hal ini. Ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku jumpai umat ini berselisih dalam permasalahan al-Kitab (Alquran), sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani berselisih (di antara mereka)”.

Diriwayatkan Ibnu Abi Dawud dari Qilabah, ia berkata, “Pada masa kekhalifahan Utsman, ia mengangkat seorang pengajar qiraat (bacaan Alquran) dan seorang lainnya untuk mengajarkan qiraat pula. Kemudian dua orang pemuda (pelajar qiraat) bertemu dan berselisih tentang bacaan mereka. Hingga permsalahan ini sampai kepada para guru. Ayub mengatakan, ‘Yang aku ketahui, sampai-sampai mereka saling mengkafirkan karena bacaan Alquran (yang asing menurut mereka)’.”

Keseriusan kisruh perbedaan bacaan Alquran saat itu bisa sedikit tergambar di benak kita dengan peristiwa yang baru-baru saja terjadi. Tentang bacaan Alquran langgam Jawa. Inisiatif mentri agama, Lukman Hakim Saifuddin, membaca Alquran dengan lagu macapat sempat membuat tegang suasana yang awalnya biasa. Keputusannya memicu pro dan kontra. Dan tentu saja meramaikan sosial media. Nah bagaimana pula dengan persitiwa perbedaan bacaan Alquran di zaman Utsman. Tentu lebih besar dan lebih berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat.

Di tengah kisruh tersebut, Utsman mengeluarkan kebijakan yang berhasil membuat suasana reda dan tenang. Utsman mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat Rasulullah ﷺ. Berdiskusi bersama mereka. mencari solusi atas peristiwa besar yang sedang mereka hadapi. Akhirnya keluarlah kebijakan untuk menyeragamkan bacaan Alquran. Ditetapkanlah satu qiraat (bacaan) yang jadi sandaran untuk umat. Kemudian qiraat tersebut ditulis dan disebarkan ke seluruh wilayah Islam. Tidak hanya itu, Utsman menutup celah perselisihan dengan membakar mush-haf yang berbeda (Kitab al-Mashahif. 1/211-214).

Kebijakan yang diambil Utsman ini adalah keputusan yang luar biasa. Sikap yang beliau ambil mampu menenangkan. Bukan malah menghangatkan suasana dan menimbulkan perpecahan. Ibnu Abi Dawud meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, “Janganlah kalian berlebihan dalam menyikapi (kebijakan) Utsman. Jangan kalian membicarakan dia, kecuali yang baik-baik saja. Demi Allah, apa yang ia lakukan terhadap mush-haf Alquran diputuskan setelah bermusyawarah dengan kami (para sahabat)”.

Ali melanjutkan, Utsman bertanya kepada kami, “Apa pendapat kalian tentang perselisihan bacaan ini? Sungguh sampai kabar kepadaku orang-orang mengatakan, ‘Qiraatku lebih baik dari qiraat yang kau baca’… …Kami pun menyerahkan kepadanya dengan bertanya, “Bagaimana solusimu?” Utsman menjawab, “Menurutku kita perlu mempersatukan bacaan dalam satu mush-haf yang seragam. Sehingga tidak ada kelompok-kelompok. Tidak ada perselisihan”. Kami menanggapi, “Alangkah bagus solusi itu”. Ali menegaskan, “Demi Allah, seandainya aku menjadi khalifah, akan aku lakukan seperti yang dilakukan Utsman”.

Petugas Penulis Alquran

Utman bin Affan radhiallahu ‘anhumembentuk satu tim ahli untuk melaksanakan tugas penulisan Alquran. Sebuah tugas berat karena apa yang mereka tulis akan dibaca milyaran manusia sampai hari kiamat.

Ada yang mengatakan para petugas tersebut tergabung dalam tim 5: Zaid bin Tsabit, Abdullah bin az-Zubair, Abdullah bin al-Abbas, Abdullah bin Amr bin al-Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits. Ada pula yang menyatakan 12 orang. Mereka dari Quraisy dan Anshar. Termasuk di antaranya Ubay bin Ka’ab. Sedangkan mayoritas ulama berpendapat, mereka adalah tim 4. Yang terdiri dari: Zaid bin Tsabit dari Anshar. Kemudian Abdullah bin az-Zubair, Said bin al-Alsh, dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam. Tiga nama terakhir adalah Quraisy.

Ibnu Hajar mengatakan, “Peristiwa tersebut terjadi di akhir tahun 24 H hingga awal tahun 25 H. Itulah waktu yang disebutkan oleh para sejarawan. Tahun dimana dibebaskannya Armenia. Namun Ibnu al-Jarir dan Ibnu al-Atsir memiliki pendapat berbeda. Menurut mereka peristiwa penyatuan bacaan (al-jam’u al-utsmani) terjadi pada tahun 30 H. Pendapat pertamalah yang lebih tepat”. (al-Mashahif, 1/205,217,220).

Metode Penyusunan Mush-haf

Langkah pertama yang dilakukan Utsman bin Affan dalam penulisan Alquran adalah mengutus seseorang kepada Ummul Mukminin Hafshah binti Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anha. Ia meminta sebuah mush-haf Alquran yang dibukukan di zaman Abu Bakar. Tim penulis pun menjadikan mush-haf tersebut sebagai acuan dalam menjalankan tugas. Kemudian mereka menulis ulang berdasarkan perintah Utsman.

Utsman berkata kepada tiga orang penulis Quraisy. “Jika kalian berbeda pendapat dengan Zaid bin Tsabit dalam hal apapun pada Alquran, maka tulislah dengan lisan Quraisy. Karena Alquran diturunkan dengan lisan Quraisy”.

Az-Zuhri mengatakan, “Mereka berbeda pendapat dalam at-Taabuut atau at-Taabuuh (التابوت والتابوة). Para penulis Quraisy berpendapat at-Taabuut. Sedangkan Zaid memilih at-Taabuuh. Perbedaan ini sampai kepada Utsman. Lalu Utsman memerintahkan, ‘Tulislah at-Taabuut. Karena ia turun dengan lisannya Quraisy’.” (Riwayat at-Bukhari, Fadha-il Alquran, 4604).

Hanya dalam kata ini saja mereka berselisih. Mereka berselisih apakah ditulis dengan ta’ maftuhah atau ta’ marbuthah.

Setelah penulisan selesai, Amirul Mukminin Utsmani bin Affan mengirimkannya ke wilayah-wilayah kekhalifahan. Menariknya, bersama mush-haf baru tersebut ia utus seseorang yang memiliki bacaan yang sama dengan mayoritas bacaan penduduk setempat. Kemudian orang tersebut mengajarkan penduduk wilayah itu.

Kemudian Utsman memerintahkan agar mush-haf yang berbeda dihilangkan dengan cara dibakar. Sehingga akar-akar perselisihan dalam permasalahan Alquran benar-benar bersih tercabuti. Para sahabat pun menyetujui kebijakan Utsman. Sebagaimana ucapan Ali bin Abi Thalib, “Demi Allah, seandainya aku menjadi khalifah, akan aku lakukan seperti yang dilakukan Utsman”.

Mush-haf dikumpulkan kemudian dibakar atau dicuci dengan air sampai tinta-tintanya luntur (Manahilu Irfan, 1/259, 261).

Dalam riwayat Imam al-Bukhari dijelaskan. Setelah penulisan mush-haf selesai, Utsman mengembalikan mush-haf rujukan kepada Hafshah. Kemudian mengirimkan mush-haf yang baru ke seluruh wilayah kekuasaan. Ia juga memerintahkan agar selain mush-haf baru dibakar. Sehingga masyarakat kaum muslimin bersatu dalam mush-haf utsmani. Melihat persatuan umat, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang awalnya menolak mush-haf utsmani dan tidak mau membakar mush-hafnya, pun berubah pikiran. Ia mengakui kesalahan pandangannya. Kemudian turut melakukan hal yang sama dengan masyarakat. Umat pun bersatu padu (Riwayat al-Bukhari dalam Fadha-il Alquran, 4604).

Sumber:
– islamstory.com


Saad bin Abi Waqqash Pemilik Doa Mustajab




Saad bin Abi Waqqash adalah salah seorang sahabat yang paling pertama memeluk Islam. Hanya beberapa orang sahabat saja yang mendahuluinya. Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu ajma’in merekala orangnya. Laki-laki Quraisy ini mengucapkan dua kalimat syahadat ketika berusia 27 tahun. Di masa kemudian, ia menjadi tokoh utama di kalangan sahabat. Dan termasuk 10 orang yang diberi kabar gembira sebagai penghuni surga.
Nasab Saad bin Abi Waqqash
Merupakan bagian penting dalam rekam jejak seseorang adalah nasab keluarga. Keluarga memiliki peran penting dalam pembentukan karakter seseorang. Ayah Saad adalah anak dari seorang pembesar bani Zuhrah. Namanya Malik bin Wuhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Amir bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan.
Adnan adalah keturunan dari Nabi Ismail bin Ibrahim ‘alaihimassalam.
Malik, ayah Saad, adalah anak paman Aminah binti Wahab, ibu Rasulullah ﷺ. Malik juga merupakan paman dari Hamzah bin Abdul Muthalib dan Shafiyyah binti Abdul Muthalib. Sehingga nasab Saad termasuk nasab yang terhormat dan mulia. Dan memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi ﷺ.
Ibunya adalah Hamnah binti Sufyan bin Umayyah al-Akbar bin Abdu asy-Syams bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Amir bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan.
Ketika Rasulullah ﷺ sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, beliau memuji dan mencandai Saad dengan mengatakan,
هَذَا خَالِي فَلْيُرِنِي امْرُؤٌ خَالَهُ
“Ini pamanku, maka hendaklah seseorang memperlihatkan pamannya kepadaku.” (HR. al-Hakim 6113 dan at-Tirmidzi 3752. At-Tirmidzi mengatakan hadist ini hasan).
Masa Pertumbuhan 
Saad dilahirkan di Mekah, 23 tahun sebelum hijrah. Ia tumbuh dan terdidik di lingkungan Quraisy. Bergaul bersama para pemuda Quraisy dan pemimpin-pemimpin Arab. Sejak kecil, Saad gemar memanah dan membuat busur panah sendiri. Kedatangan jamaah haji ke Mekah menambah khazanah pengetahuannya tentang dunia luar. Dari mereka ia mengenal bahwa dunia itu tidak sama dan seragam. Sebagaimana samanya warna pasir gurun dan gunung-gunung batu. Banyak kepentingan dan tujuan yang mengisi kehidupan manusia.
Memeluk Islam
Mengenal Islam sejak lahir adalah sebuah karunia yang besar. Karena hidayah yang mahal harganya itu, Allah beri tanpa kita minta. Berbeda bagi mereka yang mengenal Islam di tengah jalannya usia. Keadaan ini tentu lebih sulit. Banyak batu sandungan dan pemikiran yang membingungkan.
Saad bin Waqqash memeluk Islam saat berusia 17 tahun. Ia menyaksikan masa jahiliyah. Abu Bakar ash-Shiddiq berperan besar mengenalkannya kepada agama tauhid ini. Ia menyatakan keislamannya bersama orang yang didakwahi Abu Bakar: Utsman bin Affan, Zubair bin al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Thalhah bin Ubaidillah. Hanya tiga orang yang mendahului keislaman mereka.
Dipaksa Meninggalkan Islam
Ketika Saad bin Abi Waqqash memeluk Islam, menerima risalah kerasulan Muhammad ﷺ, dan meninggalkan agama nenek moyangnya, ibunya sangat menentangnya. Sang ibu ingin agar putranya kembali satu keyakinan bersamanya. Menyembah berhala dan melestarikan ajaran leluhur.
Ibunya mulai mogok makan dan minum untuk menarik simpati putranya yang sangat menyayanginya. Ia baru akan makan dan minum kalau Saad meninggalkan agama baru tersebut.
Setelah beberapa lama, kondisi ibu Saad terlihat mengkhawatirkan. Keluarganya pun memanggil Saad dan memperlihatkan keadaan ibunya yang sekarat. Pertemuan ini seolah-olah hari perpisahan jelang kematian. Keluarganya berharap Saad iba kepada ibunda.
Saad menyaksikan kondisi ibunya yang begitu menderita. Namun keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya berada di atas segalanya. Ia berkata, “Ibu… demi Allah, seandainya ibu mempunyai 100 nyawa. Lalu satu per satu nyawa itu binasa. Aku tidak akan meninggalkan agama ini sedikit pun. Makanlah wahai ibu.. jika ibu menginginkannya. Jika tidak, itu juga pilihan ibu”.
Ibunya pun menghentikan mogok makan dan minum. Ia sadar, kecintaan anaknya terhadap agamanya tidak akan berubah dengan aksi mogok yang ia lakukan. Berkaitan dengan persitiwa ini, Allah pun menurunkan sebuah ayat yang membenarkan sikap Saad bin Abi Waqqash.
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS: Luqman | Ayat: 15).
Doanya Tidak Tertolak
Saad bin Abi Waqqash adalah seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang memiliki doa yang manjur dan mustajab. Rasulullah ﷺ meminta kepada Allah ﷻ agar doa Saad menjadi doa yang mustajab tidak tertolak. Beliau ﷺ bersabda,
اللَّهُمَّ سَدِّدْ رَمَيْتَهُ، وَأَجِبْ دَعْوَتَهُ
“Ya Allah, tepatkan lemparan panahnya dan kabulkanlah doanya.” (HR. al-Hakim, 3/ 500).
Doa Rasulullah ﷺ ini menjadikan Saad seorang prajurit pemanah yang hebat dan ahli ibadah yang terkabul doanya.
Seorang Mujahid
Saad bin Abi Waqqash adalah orang pertama dalam Islam yang melemparkan anak panah di jalan Allah. Ia juga satu-satunya orang yang Rasulullah pernah menyebutkan kata “tebusan” untuknya. Seperti dalam sabda beliau ﷺ dalam Perang Uhud:
اِرْمِ سَعْدُ … فِدَاكَ أَبِيْ وَأُمِّيْ
“Panahlah, wahai Saad… Tebusanmu adalah ayah dan ibuku.”( HR. at-Tirmidzi, no. 3755).
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhumengatakan, “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah ﷺ menebus seseorang dengan ayah dan ibunya kecuali Saad. Sungguh dalam Perang Uhud aku mendengar Rasulullah mengatakan,
اِرْمِ سَعْدُ … فِدَاكَ أَبِيْ وَأُمِّيْ
“Panahlah, wahai Saad… Tebusanmu adalah ayah dan ibuku.”( HR. at-Tirmidzi, no. 3755).
Dan Saad sangat merasa terhormat dengan motivasi Rasulullah ﷺ ini.
Di antara keistimewaan lain, yang ada pada diri Saad bin Abi Waqqash termasuk seorang penunggang kuda yang paling berani di kalangan bangsa Arab dan di antara kaum muslimin. Ia memiliki dua senjata yang luar biasa; panah dan doa.
Peperangan besar yang pernah ia pimpin adalah Perang Qadisiyah. Sebuah perang legendaris antara bangsa Arab Islam melawan Majusi Persia. 3000 pasukan kaum muslimin beradapan dengan 100.000 lebih pasukan negara adidaya Persia bersenjata lengkap. Prajurit Persia dipimpin oleh palingma mereka yang bernama Rustum. Melaui Saad lah, Allah memberi kemanangan kepada kaum muslimin atas negara adidaya Persia.
Umar Mengakui Amanahnya Dalam Memimpin
Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu pernah mengamanahi Saad jabatan gubernur Irak. Sebuah wilayah besar dan penuh gejolak. Suatu ketika rakyat Irak mengadukannya kepada Umar. Mereka menuduh Saad bukanlah orang yang bagus dalam shalatnya. Permasalahan shalat bukanlah permsalahan yang ringan bagi orang-orang yang mengetahui kedudukannya. Sehingga Umar pun merespon laporan tersebut dengan memanggil Saad ke Madinah.
Mendengar laporan tersebut, Saad tertawa. Kemudian ia menanggapi tuduhan tersebut dengan mengatakan, “Demi Allah, sungguh aku shalat bersama mereka seperti shalatnya Rasulullah. Kupanjangkan dua rakaat awal dan mempersingkat dua rakaat terakhir”.
Mendengar klarifikasi dari Saad, Umar memintanya kembali ke Irak. Akan tetapi Saad menanggapinya dengan mengatakan, “Apakah engkau memerintahkanku kembali kepada kaum yang menuduhku tidak beres dalam shalat?” Saad lebih senang tinggal di Madinah dan Umar mengizinkannya.
Ketika Umar ditikam, sebelum wafat ia memerintahkan enam orang sahabat yang diridhai oleh Nabi ﷺ -salah satunya Saad- untuk bermusyawarah memilih khalifah penggantinya. Umar berkata, “Jika yang terpilih adalah Saad, maka dialah orangnya. Jika selainnya, hendaklah meminta tolong (dalam pemerintahannya) kepada Saad”.
Sikap Saad Saat Terjadi Perselisihan Antara Ali dan Muawiyah
Saad bin Abi Waqqash menjumpai perselisihan besar yang terjadi pada kaum muslimin. Antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan, radhiallahu ‘anhum ajma’in. Sikap Saad pada saat itu adalah tidak memihak kelompok manapun. Ia juga memerintahkan keluarga adan anak-anaknya untuk tidak mengabarkan berita apapun kepadanya.
Keponakannya, Hisyam bin Utbah bin Abi Waqqash, berkata kepadanya, “Wahai paman, ini adalah 100.000 pedang (pasukan) yang menganggap Andalah yang berhak menjadi khalifah”. Saad menjawab, “Aku ingin dari 100.000 pedang tersebut satu pedang saja. Jika aku memukul seorang mukmin dengan pedang itu, maka ia tidak membahayakan. Jika dipakai untuk memukul orang kafir (berjihad), maka ia mematikan”. Mendengar jawaban pamannya, Hisyam paham bahwa pamannya, Saad bin Abi Waqqash sama sekali tidak ingin ambil bagian dalam permasalahan ini. Ia pun pergi.
Wafat
Saad bin Abi Waqqash termasuk sahabat yang berumur panjang. Ia juga dianugerahi Allah ﷻ harta yang banyak. Namun ketika akhir hayatnya, ia mengenakan pakaian dari wol. Jenis kain yang dikenal murah kala itu. Ia berkata, “Kafani aku dengan kain ini, karena pakaian inilah yang aku pakai saat memerangi orang-orang musyrik di Perang Badar”. 
Saad wafat pada tahun 55 H. Ia adalah kaum muhajirin yang paling akhir wafatnya. Semoga Allah meridhainya.